Ketika berumur
enam tahun, aku melihat sebuah batang besi yang diatasnya terdapat bundaran
dengan tali yang saling mengikat. Tali tersebut sangat kuat dan tidak bisa
diregangkan. Aku memantulkan setiap benda ke tali tersebut dengan perasaan
sangat gembira. *namanya juga anak umur enam tahun, ya wajar toh kegirangan
ngelakuin hal gituan -_-*
Ternyata, benda
tersebut dinamakan ayahku raket. Dikala
itu, aku kurang paham penggunaan raket itu untuk apa. Terkadang aku
menggunakannya sebagai pengganti gitar, microfone,
sampai pedang-pedangan. Suatu hari,
aku ketahuan oleh ayahku menggunakan raketnya sebagai pedang-pedangan. Namanya juga
anak lelaki, raket tersebut aku hentak-hentakan ke jendela sebagai pengganti
lawanku. Disaat itu lah ayah mengajakku keluar. Ayah membawa dua raket dan satu
benda aneh dengan bulu-bulu yang mengitari benda tersebut. Yes! Ayah akan
bermain pedang-pedangan bersamaku! Aku sudah tidak sabar menunggu ayah.
Ayah memberiku
satu raket yang ia ambil tadi dan menyuruhku menjauh darinya. Aku terheran
karena setahu aku, bermain pedang-pedangan itu saling mendekat seperti yang aku
lakukan bersama teman-temanku. Kemudian, ayah memantulkan benda kecil tersebut ke
arahku dan menyuruhku untuk memantulkan benda tersebut. “Itu namanya shuttlecock” ayah mngatakan kepadaku. “Cara
bermainnya adalah kita saling memantulkan bola tersebut kepada lawan. Apabila bola
tersebut jatuh di daerah lawan, berarti dia kalah.”, ayah menjelaskan permainan
ini kepadaku. “oke! Perang dimulai!”, aku menjawab.
Bola tersebut ku
pegang dan mencoba untuk memantulkannya. Setiap aku mencoba untuk memantulkan
bola tersebut, bola pasti jatuh. Ayah mengajariku bagaimana cara memantulkan
bola. Ia memegang tanganku. Tangan kanan ku diayunkannya dan mengatakan bahwa
ketika ayunan tangan sudah diatas, maka lepas bolanya. Satu, dua, dan tiga!
Berhasil! Aku berhasil pada percobaan pertama. Percobaan kedua ayah masih
memegang tanganku dan ia mengayunkan tanganku lagi. Kali ini tidak berhasil
karena aku terlalu cepat menjatuhkan bola sebelum ayunan tanganku sampai
diatas. Dipercobaan ketiga, tetap masih diayunkan ayah dan aku berhasil.
Kali ini, aku
mencoba untuk mengayunkannya sendiri. Aku memakai teori ayah yang mengatakan
bahwa bola dilepas ketika ayunan tangan
sudah diatas, kaki kiri didepan, badan sedikit kesamping. Yap! Berhasil. Aku
melambungkan bola tersebut tepat pada ayah dan ayah menerima bola tersebut dan
mengembalikan kepadaku. Dan aku mulai paham permainan badminton ini. Pengalaman
pertama ini sangat melelahkan.
Keesokan harinya,
ayah memanggilku untuk melihat televisi bersamanya. Channel televisi tersebut
menunjukkan persaingan Indonesia melawan China dalam permainan badminton. Ayah memberikanku
sedikit ilmu dengan menunjukkan permainan tersebut kepadaku. Bagaimana servise bola dengan benar, bagaimana
melakukan smash menukik, bagaimana
melakukan backhand, dan banyak lagi.
Disore hari, aku mengajak temanku untuk bermain badminton. Ia lebih tua dariku,
mungkin sudah kelas 3 sd sedangkan aku masih duduk di kelas 1 sd. Kami memulai
permainan tersebut dengan gaya dan kecurangan masing-masing.
Beberapa minggu
kemudian, ayah mengajakku untuk bermain badminton. Kali ini aku sudah mulai
paham permainannya. Ayah mulai bermain cepat. Ia memberikan bola lambung kepada
ku dan menyuruhku untuk melakukan smash pada bola itu. Aku berhasil dan
itu adalah smash pertamaku. Setiap ada
bola lambung, aku mencoba untuk smash
menukik untuk mengasah permainanku ini.
Didalam
cerita yang pernah diceritakan oleh ibu saya ini, terdapat sebuah teori seorang
tokoh yang berasal dari Rusia yaitu, Vygotsky. Terdapat dua teori didalam
cerita ini.
1. Teori Zone of Proximal Development
Serangkaian tugas yang sulit
dilakukan oleh anak yang dapat dipelajari oleh orang dewasa atau orang yang
lebih mampu.
Didalam cerita ini, saya
diajarkan oleh ayah bagaimana cara memegang raket, mengayunkan raket, dan
melambungkan bola. Saya mengambil pelajaran tersebut dan melakukannya sendiri.
2. Teori Scaffolding
Sebuah
teknik untuk mengubah level dukungan. Ketika tugas yang akan dipelajari si
murid adalah tugas baru, maka orang yang lebih ahli dapat menggunakan teknik
instruksi langsung. Saat kemampuan ,murid meningkat, maka semakin sedikit
bimbingan yang diberikan.
Didalam
cerita ini, ayah membimbingku dengan melihat televisi, memberikan penjelasan
bagaimana Taufik Hidayat melakukan smash
keras. Kemudian, ia menyuruhku untuk melakukan smash dengan melambungkan bola tinggi agar aku dengan mudah
melakukan hal tersebut. Bimbingannya semakin sedikit ketika aku melakukan smash tanpa arahan ayah untuk melakukan smash.
KELOMPOK
7
DEDYQALBU HADI 131301011 (vygotsky)
RIRIN
HAPSARI 111301103 (bronfenbrener)
NURUL NIA AQSARI 131301071 (vygotsky)
MARSELA ARITONANG 131301091 (vygotsky)
FANNISA FITRI ELIZA 131301099 (vygotsky)